Jakarta | suararakyat.net – Kepala Dinas Lingkungan Hidup (LH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto, mengungkapkan bahwa saat ini kualitas udara di Jakarta mengalami penurunan signifikan yang dipengaruhi oleh tingginya intensitas musim kemarau. Situasi ini telah menyebabkan kondisi udara di kota ini menjadi sangat buruk.
“Memang kualitas udara Jakarta sepanjang 2023 ini cukup berfluktuatif. Tadi disampaikan Pak Dirjen, salah satu faktor pencetusnya adalah kondisi musim kemarau Juli-September biasanya musim kemarau mencapai tinggi-tingginya, sehingga berakibat pada kondisi kualitas udara yang kurang baik,” ujar Asep dalam sebuah konferensi pers pada Jumat (11/8/2023).
Asep menjelaskan bahwa pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah berupaya untuk menyusun regulasi yang lebih ketat terkait masalah ini. Salah satu peraturan yang telah ada adalah Instruksi Gubernur Nomor 66 tahun 2019 yang berkaitan dengan pengendalian kualitas udara.
“Ke depannya pengendalian dalam bentuk Pergub dalam waktu dekat di tanda tangani Gubernur. Jadi ada 3 strategi, tata kelola pengendalian pencemaran udara melalui berbagai kebijakan dan egulasi, pengurangan emisi pencemaran udara, nanti mungkin Kadishub masalah penggunaan transportasi publik,” jelasnya.
Sementara itu, Pejabat Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Klimatologi Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Ardhasena Sopaheluwakan, mengungkapkan bahwa kualitas udara cenderung memburuk selama musim kemarau. Dia menjelaskan bahwa fenomena ini telah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya juga.
“Kecenderungannya biasanya pada saat musim kemarau kualitas udara cenderung naik dan seperti yang kita lihat sekarang. Jadi itu faktor yang mempengaruhi kondisi yang terjadi sekarang dan sudah terjadi di tahun-tahun sebelumnya. Hal lain yang perlu dicermati bahwa kondisi kualitas udaranya itu ada siklus harian pada saat malam hari, dini hari, lepas pagi cenderung lebih tinggi daripada siang hingga sore itu karena ada siklus harian,” papar Sena.
Selain itu, Sena juga menjelaskan tentang fenomena lapisan inversi yang sering terjadi di daerah perkotaan selama musim kemarau. Ia mengungkapkan bahwa lapisan inversi ini mengakibatkan udara di lapisan bawah menjadi lebih dingin daripada udara di atasnya.
“Sehingga itu mencegah udara itu untuk naik dan terinversi itu juga penjelasan mengapa di Jakarta itu kelihatan keruhnya di bawah dibanding di atas, di mana perkotaan kita hidup bersama,” tambahnya.
Dalam menghadapi masalah serius ini, langkah-langkah pengendalian yang komprehensif serta kerjasama lintas sektor akan menjadi kunci dalam memulihkan kualitas udara yang lebih baik di Jakarta. Dengan mengintegrasikan kebijakan lingkungan, transportasi, dan perkotaan, diharapkan Jakarta dapat mengatasi tantangan kualitas udara yang semakin kompleks akibat perubahan lingkungan dan pertumbuhan populasi. (In)