Jakarta | suararakyat.net – Uni Eropa (UE) telah memberlakukan sanksi putaran ketujuh terhadap individu dan perusahaan yang terkait dengan junta militer Myanmar sebagai tanggapan atas kudeta berdarah yang terjadi pada Februari 2021. Sanksi ini telah menyasar hampir semua menteri Dewan Administrasi Negara (SAC), nama resmi junta militer, dan banyak perusahaan yang terkait dengan rezim militer, Jumat (28/7/2023).
Brussel menyatakan bahwa mereka telah dengan tegas memutuskan segala bentuk interaksi yang dapat dianggap melegitimasi junta yang dituduh melakukan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas terhadap warga sipil. Sanksi terbaru ini merupakan langkah tambahan dari “pembekuan semua bantuan UE yang dapat dilihat sebagai legitimasi junta.”
Meskipun sanksi ini mendapat pujian dari beberapa kelompok anti-junta, seperti Pemerintah Bayangan Persatuan Nasional (NUG), yang bersatu melawan junta, beberapa pihak menyoroti peningkatan perdagangan antara Uni Eropa dan Myanmar. Tercatat bahwa perdagangan antara keduanya meningkat hampir 80% pada tahun 2022 dibandingkan tahun sebelumnya, sementara perdagangan AS dengan Myanmar hanya meningkat sebesar 4%.
Kelompok kampanye Justice For Myanmar berpendapat bahwa sanksi yang diberlakukan oleh Barat terlalu lambat dan kurang koordinasi. Mereka juga menyatakan keprihatinan bahwa peningkatan perdagangan dengan Uni Eropa dapat menguatkan posisi junta militer.
Sejumlah perusahaan Uni Eropa yang masih aktif di Myanmar juga mendapat kritik karena diduga menyediakan dana untuk junta melalui perpajakan. Selain itu, ada pandangan bahwa peningkatan perdagangan tersebut secara tidak langsung mendukung klaim junta bahwa bisnis akan berjalan seperti biasa di Myanmar.
Beberapa pengamat menyatakan bahwa situasi politik di Myanmar mungkin diabaikan karena perang yang sedang berlangsung di Ukraina. Namun, Tom Andrews, pelapor khusus PBB untuk Myanmar, menekankan bahwa komunitas internasional perlu mengambil langkah yang lebih signifikan untuk mendukung orang-orang yang melawan junta militer. Menurutnya, ekspresi keprihatinan saja tidak akan mencukupi, melainkan mereka membutuhkan bantuan dan dukungan konkret.
Pemerintah Uni Eropa perlu mengambil langkah lebih lanjut untuk meningkatkan efektivitas sanksi mereka dan memastikan bahwa perdagangan dengan Myanmar tidak mendukung junta militer. Dalam menghadapi tantangan geopolitik, Uni Eropa harus tetap memprioritaskan hak asasi manusia dan mendukung upaya perdamaian dan demokratisasi di Myanmar. (In)