Reporter: Sawijan
suararakyat.net | Pergantian Tahun Baru Masehi selalu dirayakan dengan ramai hingar bingar suka cita dimana mana. Sedangkan malam Tahun Baru Suro atau Hijriyah bagi orang Jawa selalu dirayakan dengan lek-lekan (tirakat semalam suntuk), bersemedi, menyepi ke puncak gunung, tepi laut, tempat keramat dan lain-lain. Itu sebagai wujud intropeksi diri, eling (ingat akan dirinya dihadapan Tuhan), lelaku agar kuat dari godaan.
Malam Satu Suro memang dianggap sakral bagi Umat Muslim karena sebagai pergantian tahun baru dalam kalender Hijriyah. Orang Jawa memberinya nama Bulan Suro. Bulan Suro versi sekarang yang dianut orang Jawa adalah ‘bulan Suro Sultan Agungan’, yang artinya bulan Suro di Jawa diperingati oleh orang yang merasa dirinya berdarah Jawa. Ini dibuktikan setiap peringatan Malam Satu Suro pasti akan diperingati sebagian besar orang Jawa yang walaupun dirinya diluar muslim (berbagai keyakinan). Inilah pengaruh kebijakan Sultan Agung Raja Mataram 1613-1640 M.
Kebijakan itu berdampak sangat besar untuk menunjukkan pengaruh dirinya sebagai raja besar,yang pada masanya mencapai puncak kejayaan Mataram. Dalam masa kejayaan itu bisa dilihat dengan kekuatan militernya, ekonominya kuat sehingga melahirkan karya karya sastra yang luar biasa dan kebijakan menentukan Satu Suro atau Muharram bersamaan dengan Satu Saka yang kemudian diberi nama tahun baru Jawa. Dengan demikian Sultan Agung berhasil menyebarkan ajaran Islam setelah hilangnya Walisanga.
Di pusat-pusat kebudayaan seperti Keraton Surakarta dan Yogyakarta juga melakukan acara ritual untuk menghormati Bulan Suro. Tepat tengah malam keraton Surakarta dalam pergantian tahun Suro dengan mengarak Kebo Bule Kyai Slamet sebagai cucuk lampah (penunjuk jalan agar diberi keselamatan kesejahteraan sebagai simbolis) dengan diikuti arakan pusaka dan masyarakat eks Karesidenan Surakarta. Sedangkan keraton Yogyakarta mengadakan mubeng atau keliling beteng keraton tujuh kali dengan tapa bisu (menahan bicara), yang artinya menjalani tirakat memohon pada Yang Esa dalam hatinya agar diberikan keselamatan sejahteraan.
Semua yang dilakukan orang Jawa tak lepas dari kepercayaan keyakinan dalam dirinya. Dengan mawas diri orang Jawa yakin esensi lelaku yang dilakukan akan semakin mendekatkan diri atau wujud ungkapan permohonan pada yang menguasai dirinya dan dunia.
Salam bahagia (Fb) Suranta Ipong Bantul Jogja