back to top

Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

โ€• Advertisement โ€•

spot_img

Turun Langsung ke Pelosok, Ketua TP-PKK Kabupaten Seram Bagian Barat Perangi Stunting

Maluku | suara rakyat.net โ€“ Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Maluku, Yeni Rosbayani Asri, melakukan kunjungan kerja intensif ke wilayah terpencil di Kecamatan...
HomeNewsLegislator Soroti Siswa SD di Luwu yang Harus Naik Rakit ke Sekolah,...

Legislator Soroti Siswa SD di Luwu yang Harus Naik Rakit ke Sekolah, Pemda Diberi Kritik

Jakarta | suararakyat.net – Wakil Ketua Komisi X DPR, Dede Yusuf, mengungkapkan keprihatinannya terhadap kondisi siswa di beberapa wilayah Indonesia yang harus menggunakan rakit untuk mencapai sekolah. Dede Yusuf menganggap bahwa infrastruktur pendidikan di beberapa daerah di Tanah Air masih belum memadai.

Dalam pernyataannya, Dede Yusuf mengatakan, “Saya sering menemukan sekolah yang berada di bawah tebing gunung atau bukit. Perjalanan menuju sekolah tersebut melalui jalan setapak yang berada di tepi jurang.” Ia juga menambahkan bahwa kondisi ini tidak hanya dialami oleh siswa, tetapi juga para pengajar yang harus melewati jalan berlumpur atau berjalan kaki selama 2 hingga 3 jam untuk mencapai lokasi sekolah.

Dede Yusuf memahami bahwa ada daerah-daerah di Indonesia yang sulit dijangkau oleh kendaraan karena perbedaan kondisi demografi. Terutama di wilayah-wilayah desa, terutama di kabupaten pedalaman, yang membutuhkan akses jalan yang mudah, bukan jalan tol atau jalan nasional.

Ia memberikan contoh siswa SDN 478 Barowa, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, yang harus menggunakan rakit gabus untuk pergi ke sekolah karena jembatan rusak. Menurutnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di Luwu, tetapi juga di daerah-daerah lain yang sebenarnya dekat dengan kota-kota besar.

Dede Yusuf menyebut bahwa Pemerintah Daerah memiliki tanggung jawab dalam pembangunan infrastruktur pendidikan di wilayahnya. Kurangnya pendataan dan pemetaan lokasi menjadi salah satu alasan mengapa masih banyak anak-anak yang mengalami kesulitan dalam perjalanan ke sekolah.

“Pemerintah daerah sangat penting untuk membuat mapping atau database tentang proses perjalanan ke sekolah. Tujuannya agar tidak ada lagi anak-anak SD yang harus bergelantungan saat menyeberangi sungai, seperti yang terjadi di Luwu,” ujarnya.

Menurut Dede, masalah ini terkait dengan infrastruktur, bukan kualitas pendidikan. Ia menyarankan agar sekolah-sekolah yang sulit dijangkau dipindahkan ke lokasi yang lebih mudah dijangkau. Selain itu, sekolah yang tidak layak juga harus segera dipindahkan ke gedung sekolah yang baru.

Dede Yusuf juga menganggap bahwa peran Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kementerian PUPR) dalam pendataan infrastruktur pendidikan perlu diperkuat. Ia menekankan bahwa anggaran untuk fasilitas dan pembangunan infrastruktur pendidikan harus menjadi tanggung jawab Kementerian PUPR.

Namun, Dede tidak yakin bahwa jika semua anggaran diberikan kepada Kementerian PUPR, pembangunan akan difokuskan pada infrastruktur pendidikan. Oleh karena itu, ia meminta agar kewenangan pembangunan sekolah, ruang kelas baru, dan fasilitas pendidikan dikembalikan kepada Kemendikbud.

Dede menyadari bahwa program tersebut membutuhkan rencana jangka panjang, tetapi ia menegaskan perlunya evaluasi agar kualitas pendidikan di Indonesia tidak terhambat.

Di sisi lain, Dede Yusuf berpendapat bahwa Kemendikbud tidak perlu terburu-buru dalam memulai program digitalisasi pendidikan. Menurutnya, ada banyak hal yang perlu diperbaiki sebelum mencapai tahap digitalisasi dalam sistem pendidikan.

Ia berpendapat bahwa Kemendikbud harus mempertimbangkan kondisi demografi dan mengkategorikan pendidikan di setiap daerah. Dengan demikian, semua peserta didik akan mendapatkan pendidikan yang setara.

Dede menyarankan adanya tiga kategori pendidikan, yaitu klaster A untuk daerah perkotaan, klaster B untuk kabupaten/kota yang mudah dijangkau secara infrastruktur, dan klaster C untuk sekolah-sekolah di wilayah 3T (terdepan, terpencil, dan tertinggal), yang sulit dilengkapi dengan infrastruktur yang memadai.

Ia berpendapat bahwa digitalisasi pendidikan sebaiknya ditunda sampai sarana dan kebutuhan dasar pendidikan terpenuhi. Dede berharap bahwa blueprint atau peta jalan pendidikan dalam 20 tahun ke depan akan menggambarkan tiga klaster tersebut.

Dalam kesimpulannya, Dede Yusuf menekankan perlunya pemenuhan sarana dan infrastruktur pendidikan sesuai dengan standar pendidikan yang ditetapkan. Ia meminta agar fokus diberikan pada infrastruktur pendidikan terlebih dahulu sebelum memasuki era digitalisasi pendidikan.(Rz)