Jakarta | suararakyat.net – Kinerja Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Bea Cukai) akhir-akhir ini menuai kritik publik. Isu terbaru yang mengemuka adalah dugaan praktik korupsi terkait pengumpulan International Mobile Equipment Identity (IMEI) pada ponsel impor.
Sebelumnya, Bea Cukai juga menjadi sorotan karena pejabat dan keluarganya memamerkan kekayaannya, perilaku tidak menyenangkan selama inspeksi bandara, dan keluhan di media sosial yang ditanggapi dengan hinaan.
Dugaan praktik korupsi yang melibatkan pengumpulan IMEI bermula dari surat terbuka seorang PNS muda Bea Cukai yang diganggu oleh oknum – oknum yang menodai institusi tempatnya bekerja.
Surat terbuka itu viral setelah akun Twitter dengan username @PartaiSocmed mempublikasikannya. Direktorat Jenderal Bea dan Cukai juga mengakui ada kesalahan prosedur dalam pemungutan IMEI dan memberikan sanksi kepada pegawainya yang terlibat.
Parahnya lagi, dugaan korupsi yang merajalela ini disebut – sebut melibatkan aparat bea cukai dari kalangan menengah hingga pejabat dengan jabatan Eselon III.
Alasannya sederhana, semua orang tahu dan saling menutupi demi menjaga reputasi dan institusi Bea Cukai sendiri.
Dikutip dari artikel yang ditulis di situs resmi Media Keuangan (MK+) Kementerian Keuangan, lembaga Bea dan Cukai pernah dibekukan oleh pemerintah Orde Baru karena menjadi sarang korupsi.
Presiden Soeharto saat itu sangat kesal dengan maraknya praktik korupsi di Bea dan Cukai. Meski tidak dibubarkan, Soeharto memutuskan untuk membekukan lembaga tersebut.
Pada masa Orde Baru, praktik korupsi, khususnya Pungutan Liar (Pungli), begitu lekat dengan aparat bea cukai. Mereka bersekongkol dengan pengusaha ekspor – impor.
Banyak pengusaha menyuap petugas bea cukai untuk memfasilitasi penyelundupan. Praktek ini sering disebut sebagai ‘Uang Damai’ atau ‘Uang Perdamaian’.(Arf)