Jakarta | suararakyat.net – Lembaga Kesehatan Mahasiswa Islam (LKMI) PB HMI menghimbau kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dan pemerintah untuk menunda pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan (Omnibus Law). Mereka berpendapat bahwa RUU tersebut tidak berpihak pada kepentingan rakyat dan tidak memprioritaskan perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan publik sebagaimana yang dijamin oleh konstitusi.
Pernyataan ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif BAKORNAS LKMI PB HMI, Fahmi Dwika Hafiz Triono, dalam sebuah diskusi publik di Bandung pada tanggal 13 Juni. Fahmi menyatakan bahwa dalam hal pelayanan kesehatan, peraturan perundang-undangan seharusnya secara tegas menetapkan bahwa pemerintah Indonesia memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi, menegakkan, dan memenuhi pelayanan kesehatan bagi warga negaranya.
Fahmi mengatakan, “Pelayanan kesehatan adalah bentuk pelayanan publik yang diamanatkan oleh undang-undang. Oleh karena itu, pemenuhan pelayanan publik harus diatur dalam regulasi yang dibuat oleh pemerintah untuk memenuhi kebutuhan dasar dan kesejahteraan masyarakat.” Hal ini disampaikan dalam keterangan tertulis pada tanggal 14 Juni 2023.
LKMI PB HMI juga mengkritik penghapusan pengeluaran wajib (mandatory spending) dalam RUU Kesehatan Omnibus Law. Mereka berpendapat bahwa hal ini dapat menurunkan standar kualitas pelayanan kesehatan tanpa adanya ukuran yang jelas. Penurunan standar tersebut berpotensi berdampak negatif pada pelaksanaan pelayanan kesehatan di masa depan.
Selain itu, menurut Fahmi, pemerintah juga dianggap telah menghilangkan perlindungan bagi masyarakat miskin dan tidak mampu melalui skema Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda).
Fahmi menyatakan bahwa pihaknya juga menuntut peningkatan pengeluaran wajib untuk mendukung kualitas pelayanan kesehatan. Dia menekankan perlunya ruang aspirasi publik dan partisipasi masyarakat yang mewakili dalam pembahasan RUU Kesehatan ini.
“RUU Kesehatan Omnibus Law adalah produk hukum yang bermasalah dan minim partisipasi bermakna dari pemerintah dan DPR RI. Kami mendesak penundaan pembahasan RUU ini untuk memberikan kesempatan kepada aspirasi publik dan partisipasi yang lebih luas dalam menentukan kebijakan kesehatan yang mengutamakan kepentingan rakyat,” tegas Fahmi.
Dalam kesempatan lain, perwakilan koalisi dan peneliti dari The Institute for Ecosoc Rights, Sri Palupi, menyatakan bahwa RUU Kesehatan belum berpihak pada kepentingan rakyat dan belum memprior
itaskan perlindungan dan pemenuhan hak kesehatan publik sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi.
“Pengesahan RUU Kesehatan seharusnya ditunda, dan jika tidak, langkah selanjutnya adalah menolak RUU Kesehatan yang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat,” kata Sri Palupi.
Menurutnya, kebutuhan akan RUU Kesehatan ini dianggap masih lemah, Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) RUU Kesehatan tidak cukup untuk menjelaskan urgensi perlunya Omnibus Law. Selain itu, substansi dalam RUU Kesehatan mengandung beberapa kontradiksi. Proses penyusunan dan pembahasan RUU Kesehatan yang terburu-buru hanya dianggap sebagai pemborosan sumber daya negara.
“Sentralisasi pengelolaan kesehatan oleh pemerintah pusat dapat mengurangi kemandirian sektor kesehatan. Ironisnya, dominasi oleh profesi kemudian diambil alih oleh Menteri Kesehatan. Hal ini tidak menyelesaikan masalah, tetapi hanya memindahkan masalah,” ujar Palupi.(Rz)