back to top

Become a member

Get the best offers and updates relating to Liberty Case News.

โ€• Advertisement โ€•

spot_img

Aliansi Pendidikan: Lindungi Hak Belajar Anak, Buka Dialog Soal Lahan SDN Utan Jaya

DEPOK | suararakyat.net - Ketua Aliansi LSM Pendidikan, Mulyadi Pranowo, angkat bicara terkait polemik penggembokan SDN Utan Jaya yang dilakukan oleh pihak ahli waris...
HomeNewsKritik Pedagang Bojonggede Viral: Dijerat UU ITE setelah Menyuarakan Pendapat tentang Spanduk...

Kritik Pedagang Bojonggede Viral: Dijerat UU ITE setelah Menyuarakan Pendapat tentang Spanduk Majelis Taklim di Bogor

Bogor | suararakyat.net – Seorang pedagang asal Bojonggede, Kabupaten Bogor, Wahyu Dwi Nugroho (32), menjadi pesakitan setelah dilaporkan oleh anak dari pemilik majelis taklim. Wahyu Dwi Nugroho kini tengah diadili usai mengkritik spanduk majelis taklim yang melarang berbelanja di warung-warung selain di seputar majelis taklim, Jum’at (21/7/2023).

Kejadian ini menarik perhatian banyak orang karena melibatkan isu kebebasan berbicara dan ujaran kebencian dalam dunia digital. Kasus ini bermula dari laporan yang dibuat oleh seorang perempuan yang merupakan anak dari pemilik majelis taklim. Pelapor mengaku bahwa postingan akun TikTok @aw_collection50 milik Wahyu Dwi Nugroho telah menimbulkan kebencian berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Kombes Ade Safri Simanjuntak dari Direktorat Reskrimsus Polda Metro Jaya telah membuka suara terkait kasus ini. Ade menyatakan bahwa kasus Wahyu Dwi Nugroho telah dinyatakan lengkap (P21) dan tersangka juga sudah dilimpahkan ke Kejaksaan Tinggi (Kejati) DKI Jakarta.

Pasal yang digunakan dalam laporan ini adalah Pasal 28 ayat (2) juncto Pasal 45A ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal tersebut mengatur tentang penyebaran informasi yang bertujuan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). Ancaman pidana untuk pelanggaran ini adalah penjara paling lama 6 tahun dan/atau denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00.

Seiring berjalannya proses hukum, Polda Metro Jaya telah melimpahkan tahap II, yang melibatkan tersangka Wahyu Dwi Nugroho dan barang bukti, ke Kejati DKI Jakarta.

Dalam menyikapi kasus ini, pihak Majelis Taklim juga menyatakan bahwa pada saatnya pimpinan Majelis Taklim akan memberikan pernyataan.

Kasus ini tentu menjadi perhatian penting dalam menghadapi isu-isu sensitif di media sosial. Penggunaan kebebasan berbicara harus diimbangi dengan tanggung jawab dan kesadaran untuk tidak menyebarkan informasi yang dapat menyulut kebencian atau permusuhan antar kelompok masyarakat. Semoga kasus ini memberikan pembelajaran bagi semua pihak untuk lebih bijaksana dalam bermedia sosial dan berbicara di ruang publik. Hukum harus ditegakkan untuk menjaga kedamaian dan persatuan di tengah masyarakat.(Rz)