Jakarta | suararakyat.net – Ketika berbelanja di toko atau supermarket, kita biasanya menerima kembalian dalam bentuk recehan. Namun, ada beberapa pedagang atau pelaku usaha yang memberikan kembalian dalam bentuk permen. Meskipun nampaknya tidak berbahaya, namun ternyata tindakan tersebut bertentangan dengan Undang – Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang mata uang yang berlaku di Indonesia.
Menurut Marlison Hakim Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia (BI), penggunaan uang rupiah sebagai alat transaksi pembayaran di wilayah NKRI telah diatur pada Pasal 21 UU Mata Uang. Pasal tersebut mengatur bahwa setiap transaksi pembayaran harus dilakukan dengan mata uang rupiah.
“Untuk menjaga agar pengaturan Pasal 21 ayat (1) dipatuhi dan efektif berlaku, maka pembuat UU memasukkan pengaturan sanksi bagi mereka yang bertransaksi tidak menggunakan mata uang rupiah, atau menggunakan mata uang selain rupiah”, ucap Marlison, Sabtu 18/3/2023.
Untuk memastikan Pasal 21 ayat (1) ini dipatuhi dan efektif berlaku, maka pembuat UU juga menetapkan sanksi bagi mereka yang melakukan transaksi dengan mata uang selain rupiah. Rumusan sanksi pidana selanjutnya diatur dalam Pasal 33 ayat 1 UU Mata Uang.
“Terhadap apa saja yang termasuk dalam kategori pelanggaran dimaksud, menjadi ranah penegak hukum”, terang Marlison.
Menurut Pasal 33 ayat 1 UU Mata Uang, setiap orang yang tidak menggunakan rupiah dalam setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran, dan penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang dan/atau transaksi keuangan lainnya, dapat dipidana dengan kurungan paling lama 1 tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 200.000.000.
Dalam hal ini, kembalian permen yang diberikan oleh pedagang atau pelaku usaha dapat dianggap sebagai pelanggaran UU Mata Uang karena permen tidak diakui sebagai alat pembayaran yang sah. Oleh karena itu, pelaku usaha atau pedagang yang memberikan kembalian dalam bentuk permen seharusnya berhati-hati karena tindakan tersebut dapat mengakibatkan sanksi pidana.(Fqh)